Oleh : Dr Ing Fahmi Amhar
MERAPI akhirnya meletus Senin (15/5) pagi. Meski sudah cukup merepotkan dan sempat membuat jenuh pengungsi dan pemerintah yang mengurusinya, letusan ini agak ‘melegakan’. Ibarat orang kebelet tapi belum bisa kentut, sekarang kentutnya sudah keluar.
Namun tentu tidak begitu bagi para ilmuwan yang terkait gunung api. Karena aktivitas Merapi ini ternyata ‘diikuti kawan-kawannya’, yaitu Marapi dan Talang di Sumatera Barat, Anak Krakatau di Selat Sunda, Gede dan Pangrango di Jawa Barat, Dieng di Jawa Tengah, Semeru dan Kelud di Jawa Timur, Tambora di Nusa Tenggara Barat, Lokon, Soputan dan Karangetang di Sulawesi Utara, dan Awu di Sangir Talaud.
Secara fisik, magma dalam tiap gunung api tersebut tidak selalu berhubungan langsung. Namun gunung-gunung tersebut berada pada satu lempeng benua yang saling bergerak. Para ahli geodesi telah memonitor pergerakan ini dengan cara sebagai berikut:Pertama, mereka menentukan titik-titik pada batuan yang dianggap stabil di sejumlah tempat. Di atas titik-titik itu dipasang alat ukur posisi yang amat teliti dengan perangkat Global Positioning System (GPS). Pengukuran ini memakan waktu setidaknya tiga kali 24 jam dan harus dilakukan serentak. Dengan pengukuran teliti ini, didapatkan koordinat yang kesalahan relatifnya kurang dari 5 milimeter.
Beberapa tahun kemudian, dilakukan pengukuran ulang di tempat yang sama dengan metode serupa. Dari dua koordinat beda waktu ini, didapatkan data adanya pergerakan lempeng benua beberapa centimeter per tahun. Kemudian pada pengukuran ketiga, didapatkan arah dan kecepatan gerakan lempeng benua tadi. Karena penelitian geodinamika ini dilakukan di seluruh dunia, maka didapatkanlah peta pergerakan lempeng benua. Lempeng ini bergerak beserta seluruh mahluk di atasnya, termasuk gunung-gunung. Dalam Alquran tertulis:
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan(QS An-Naml:88).
Lempeng-lempeng ini memiliki ketebalan kurang-lebih 20-30 km. Karena besarnya massa lempeng ini (bayangkan batu seluas benua setebal 20-30 km), maka meski geraknya hanya 5-10 cm pertahun, energi kinetiknya sangat dahsyat. Terkadang energi ini tertahan bertahun-tahun. Artinya, ketika geodinamika mencatat pergerakan yang melambat, atau bahkan terhenti, maka kita justru harus curiga.
material di dalam bumi tidak sanggup lagi menampung energi yang tertahan ini, dia bisa ‘ejakulasi’ dalam bentuk gempa seismik mendadak yang sangat berbahaya (apalagi bila terjadi di laut dan menyebabkan tsunami), atau dalam bentuk muntahan material (magma) lewat gunung-gunung berapi di perbatasan lempeng. Kalau teratur, muntahan itu bisa dikendalikan dalam bentuk energi panas bumi, namun sebagian besar keluar tak terkendali dalam bentuk awan panas, lava pijar atau hujan abu.
Yang jelas, mekanisme ini sepertinya memang sengaja didesain untuk menjaga stabilitas energi geodinamik. Dalam Alquran tertulis: Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu (QS An-Nahl: 15).
Indonesia ‘beruntung’ berada di perbatasan tiga lempeng utama, yaitu lempeng Pasifik (termasuk Australia), lempeng India (termasuk Samudra Hindia) dan lempeng Asia. Dari data seismik dan vulkanik ratusan tahun, dunia juga mencatat adanya dua ‘cincin api’ yang terbentang mengelilingi Samudra Pasifik dan mengikat dari Nusa Tenggara ke Himalaya sampai kawasan Mediterania di Eropa. 90% gempa dan 81% gempa terbesar dicatat di cincin api ini. Hebatnya lagi: dua cincin api ini bertemu di Indonesia. Kita memang berada di kawasan terpilih!
apkah ada jawaban lain selain ini??
BalasHapusjawab ini tidak lengkap